Hidup ini mengukir sejarah, blog ini jejak sejarahku

Minggu, 21 Desember 2014

Penting (kah) IQ, EQ, dan SQ (?)

   Memasuki abad ke-20 kita mengenal sebuah istilah populer yang berkaitan dengan kecerdasan IQ (Intelligent Quotient). Sekarang ini hampir sulit menemukan ada istilah lain selain IQ yang demikian sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog berkebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905 menyusun suatu test kecerdasan terstandardisasi untuk pertama kalinya. Pada awalnya Binet justru merancang test kecerdasannya ini untuk mengidentifikasi pelajar-pelajar di sekolahnya saat itu yang membutuhkan bantuan khusus, dan bukannya untuk mencari anak-anak yang berbakat luar biasa seperti yang berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet berusaha untuk memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan-persoalan dalam perilaku ini tidak lantas dianggap secara terburu-buru hanya sebagai orang yang bodoh/tidak cerdas.
   Test yang dikembangkan oleh Binet ini tak lama kemudian disusun kembali oleh Lewis Terman, seorang profesor dalam bidang psikologi dari Stanford University di US. Terman menggagaskan untuk memformulasikan suatu skor nilai yang disebutnya sebagai IQ yang diperoleh dengan cara membagi ‘umur mental’ seseorang (yang didapat dari test kecerdasan Binet) dengan umurnya yang sebenarnya atau umur kronologisnya.
    Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra.
   Namun sejarah membuktikan bahwa metoda ini bergerak lebih jauh lagi dalam mempengaruhi aspek-aspek pemikiran masyarakat modern dalam cara mereka memandang aspek-aspek potensi individu. Barangkali tidak ada yang salah dengan metoda penentuan IQ ini, namun peradaban modern barat ketika itu (dan hingga kini) tidak memiliki konsepsi yang utuh dalam memandang diri manusia. Wajar jika saat itu IQ yang merefleksikan kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi-situasi praktis dalam hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity), dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya.
   Pada tataran selanjutnya, awal tahun 1996 istilah EQ (Emotional Intelligence) diusulkan oleh Daniel Goleman dalam bukunyaEmotional Intelligence. Belakangan ini menjadi populer pula istilah SQ (Spiritual Intelligence), yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence (2000). Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil men-sintesa-kan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.
   Goleman mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dll. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian menurut Goleman. Sementara itu Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual (SQ). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan mereka meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dll.
   Dalam teori kontemporer tentang sistem-sistem hidup, pikiran/kesadaran bukanlah sebuah objek atau entitas benda, namun sebuah proses. Proses ini adalah proses kognisi – proses untuk memahami–proses berkecerdasan, yang teridentifikasi dengan proses kehidupan itu sendiri. Teori kontemporer ini dikenal dengan sebutan Teori Kognitif Santiago, yang digagaskan oleh Humberto Maturana dan Fransisco Varela, dari Universitas Santiago, Chili.
   Hubungan antara pikiran, atau kognisi dengan proses hidup, merupakan hal yang sama sekali baru dalam dunia sains modern, namun telah lama dikenal dalam tradisi-tradisi lama. Peradaban pramodern dalam berbagai tradisi kebudayaannya memandang bahwa kesadaran rasional/pikiran manusia hanyalah satu aspek dari jiwa manusia sejati yang immateri. Oleh karena itu, dikotominya yang paling mendasar tidak terletak antara tubuh (body) dengan pikiran (mind), namun antara tubuh (body) dengan jiwa (soul), atau tubuh (body) dengan ruh (spirit) . Perbedaan antara jiwa dengan ruh berfluktuasi di setiap zaman dan hampir dianggap tak signifikan lagi perbedaannya pada masa kini.
Dalam bahasa agama, EQ adalah kepiawaian menjalin “hablun min al-naas”. Pusat dari EQ adalah “qalbu”. Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
   Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Tidak lain karena orang tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat.
Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal) seperti self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy, kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik.
   Sedangkan SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.  Dengan kata lain, SQ adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).
   Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
   Seseorang yang mempunyai tingkat kecerdasan spiritual (SQ) tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggungjawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya. Dengan kata lain seseorang yang memberi inspirasi kepada orang lain.
   Tindakan atau langkah seseorang yang memiliki SQ yang tinggi adalah langkah atau tindakan yang mereka ambil menyiratkan seperti apa dunia yang mereka inginkan ini adalah perjalanan dari pengertian (awareness) menuju kesadaran (consciousness).
   Sogyal Rinpoche mengatakan dalam The Tibet an Book of Living and Dying, “Spiritualitas sejati adalah menjadi sadar bahwa bila kita saling tergantung dengan segala sesuatu dan semua orang lain, bahkan pikiran, kata dan tindakan yang paling kecil dan tak penting memiliki konsekuensi nyata di seluruh alam semesta”. Semua individu SQ yang tahu mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan, selalu bertindak dari misi yang sama, untuk membawa tingkat-tingkat baru kecerdasan dalam dunia. Orang membutuhkan perkembangan “kecerdasan spiritual (SQ)” untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh.

Dari abstraksi tersebut maka dapat diambil simpulan, bahwa agar manusia dapat menjadi dan atau menemukan kepribadian sejati maka ia harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai positif pada realitas sosial baik itu nilai yang menyangkut dengan IQ, EQ, dan SQ. Semoga dapat menggugah nalar intelektual selanjutnya.

Referensi
Esthi Endah Ayuning Tyas, Cerdas Emosional Dengan Musik; Tipe Jitu Membangun Kecerdasan Emosional Anak, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008.
Andreas Harefa, Mengasah Paradigma Pembelajar, Yogyakarta: Gradien, 2003.
Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA), BEP, ADB Loan 1442-INO, Modul Pelatihan Inservice Training; Kecerdasan Emosi dan Quantum Learning, Yogyakarta: FkBA, 2000.
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
D. S. Prasetyono, Metode Membuat Anak Cerdas Sejak Dini, Yogyakarta: Garailmu, 2008.
Munirul Amin dan Eko Harianto, Psikologi Kepemimpinan; Membentuk Manusia Sadar Diri dan Sempurna, Yogyakarta: Mata Hati, 2005.
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Kecerdasan Kenabian; Prophetic Intelligence; Mengembangkan Potensi Robbani Melalui Peningkatan Kesehatan Ruhani, (Yogyakarta: Pustaka Al Furqon, 2007).
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Emotional Spiritual Question; Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001.
John Gottman dan Joan De Claire, ”The Heart of Parenting” alih bahasa T. Hermaya, Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Paulus Mujian FIC, Strategi Mengasuh Anak Yang Cerdas Emosional, Dalam Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Richard A. Bowell, The 7 Steps of Spiritual Quotient, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2006
Monty P. Satiadarma, Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2003.
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar